Perubahan UU Kepariwisataan 2025: Peluang Besar untuk Desa Wisata, Masyarakat Lokal, dan Kolaborasi Pentahelix -->
Mlaku Bareng Paket Wisata Jogja Dewi Tinalah

Perubahan UU Kepariwisataan 2025: Peluang Besar untuk Desa Wisata, Masyarakat Lokal, dan Kolaborasi Pentahelix

Pada 2 Oktober 2025, pemerintah resmi mengesahkan Undang-Undang Kepariwisataan yang baru, menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009. Perubahan besar ini dinilai sebagai tonggak penting dalam pengelolaan dan pembangunan pariwisata Indonesia, terutama karena undang-undang baru memperkenalkan pendekatan yang jauh lebih holistik, manusiawi, dan berkelanjutan. Melalui konsep “ekosistem kepariwisataan”, sektor pariwisata kini dipandang sebagai sistem yang saling terhubung antara masyarakat, budaya, alam, usaha, teknologi, dan tata kelola.

Perubahan UU Kepariwisataan 2025: Peluang Besar untuk Desa Wisata, Masyarakat Lokal, dan Kolaborasi Pentahelix

Salah satu elemen paling menonjol dari UU Kepariwisataan yang baru adalah penempatan masyarakat dan budaya sebagai pilar utama pembangunan pariwisata. Selain itu, pemerintah memperkuat kebijakan tentang desa wisata, memperjelas kriteria, tahap perkembangan, serta mekanisme perizinannya. Undang-undang yang baru ini memberikan ruang lebih besar bagi desa untuk tumbuh sebagai destinasi berkualitas, berdaya saing, dan tetap menjaga akar budaya lokal.

Apa yang Berubah dalam UU Kepariwisataan yang Baru?

Berikut adalah poin-poin kunci yang menjadi pembeda utama dalam Undang-Undang Kepariwisataan 2025:

1. Konsep Ekosistem Kepariwisataan

UU baru memperkenalkan paradigma bahwa pariwisata tidak boleh hanya dilihat sebagai industri atau sektor ekonomi, tetapi sebagai sebuah ekosistem. Pendekatan ini mencakup:

  • pelaku usaha
  • masyarakat
  • budaya
  • lingkungan
  • tata kelola
  • teknologi
  • pemasaran

Semua elemen ini saling terkait dan harus dikelola secara terpadu agar pariwisata dapat memberikan manfaat menyeluruh.

2. Masyarakat dan Budaya sebagai Pilar Sentral

UU sebelumnya tidak secara eksplisit menempatkan masyarakat sebagai aktor utama. Pada UU baru, masyarakat lokal menjadi subjek penting yang memiliki hak, peran, dan kesempatan untuk mengembangkan destinasi berbasis budaya dan kearifan lokal.

3. Penguatan dan Klasifikasi Desa Wisata

Desa wisata kini memiliki empat kategori perkembangan:

  • Rintisan
  • Berkembang
  • Maju
  • Mandiri

Dengan kriteria yang jelas, desa dapat menata diri lebih terarah sesuai kapasitas dan potensi yang dimiliki. Pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota memiliki peran yang lebih terstruktur dalam pembinaan dan pengawasan.

4. Penguatan Kapasitas SDM

UU menekankan pentingnya pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kualitas pelaku pariwisata, baik masyarakat desa, pengelola destinasi, maupun pelaku usaha. Hal ini membuka peluang peningkatan kompetensi wisata lokal secara lebih merata.

5. Digitalisasi dan Teknologi

Teknologi informasi, pemasaran digital, dan digitalisasi destinasi kini menjadi elemen wajib dalam pengelolaan pariwisata modern. Desa wisata didorong untuk mulai menggunakan teknologi dalam:

  • pengelolaan data kunjungan
  • sistem reservasi
  • pemasaran destinasi
  • edukasi masyarakat

6. Pemasaran Terpadu

UU ini menambahkan bab khusus mengenai pemasaran terpadu, menekankan pentingnya citra pariwisata nasional dan strategi branding destinasi agar lebih kompetitif di pasar global.

7. Pengelolaan Destinasi yang Lebih Terstruktur

UU baru memperkuat tata kelola destinasi, meliputi perencanaan, standar kualitas, hingga keberlanjutan lingkungan.

Landasan Baru Pariwisata Berbasis Budaya dan Masyarakat Lokal

Dalam pasal-pasal baru (Pasal 17Q–17S), UU Kepariwisataan secara tegas memberi ruang bagi masyarakat untuk:

  • membentuk destinasi pariwisata berbasis budaya,
  • membangun kelompok sadar wisata,
  • membentuk destinasi berbasis masyarakat selain desa wisata,
  • mengelola daya tarik wisata yang menyatu dengan tradisi, kehidupan, dan tata cara masyarakat.

Ini merupakan langkah maju yang memberikan pengakuan formal terhadap peran masyarakat dalam pariwisata—sesuatu yang selama ini kuat di lapangan, tetapi minim perlindungan hukum.

Kriteria dan Tujuan Pembangunan Desa Wisata

UU baru mengatur bahwa desa wisata bertujuan untuk:

  • melestarikan budaya lokal
  • meningkatkan kesejahteraan masyarakat
  • mengurangi kemiskinan
  • menyediakan ruang ekonomi baru
  • mengangkat kearifan lokal
  • mempercepat pembangunan desa secara terpadu

Kriteria desa wisata pun lebih diperjelas:

  • Memiliki daya tarik wisata autentik
  • Masyarakat peduli dan terhubung dengan potensi wisata
  • Infrastruktur dasar tersedia

Dengan adanya standar ini, desa dapat melakukan perencanaan yang lebih sistematis.

Relevansi UU Baru bagi Desa Wisata sebagai Peluang dan Masa Depan

Perubahan UU Kepariwisataan memberi peluang besar bagi desa wisata di Indonesia, termasuk bagi desa yang baru mulai berkembang maupun yang sudah memiliki rekam jejak pariwisata yang kuat.

1. Peluang Pembentukan dan Pengembangan Destinasi Baru

UU baru membuka pintu lebih luas untuk desa yang memiliki potensi budaya atau alam. Proses perizinan menjadi jelas, mekanisme pendampingan dari pemerintah dan pemangku kepentingan lebih terstruktur.

2. Penguatan Kelembagaan Desa Wisata

Dengan adanya regulasi mengenai tahap perkembangan, desa memiliki peta jalan yang jelas untuk naik level dari rintisan menuju mandiri.

3. Masyarakat sebagai Pemegang Peran Utama

Peran masyarakat kini diakui secara hukum sebagai aktor inti pengembang destinasi. Ini memperkuat posisi Pokdarwis dan kelompok budaya lokal.

4. Kesempatan untuk Mengadopsi Teknologi

Digitalisasi menjadi syarat mutlak dalam pariwisata modern agar Desa wisata yang adaptif akan lebih kompetitif.

  • pemasaran media sosial
  • e-ticketing
  • virtual tour
  • smart destination
  • data wisatawan

5. Potensi Kolaborasi Lebih Besar

Dengan UU baru, desa wisata memiliki landasan hukum yang kuat untuk membangun jejaring dengan perguruan tinggi, sektor swasta, pemerintah, dan media.

Peran Pentahelix dalam Mendukung Implementasi UU Pariwisata 2025

Pengembangan pariwisata di desa tidak bisa berjalan sendiri. Pendekatan pentahelix—kolaborasi antara Pemerintah (G), Akademisi (A), Bisnis (B), Komunitas (C), dan Media (M)—menjadi semakin relevan.

1. Pemerintah

  • Mengeluarkan izin dan regulasi
  • Memberikan bimbingan teknis
  • Menyediakan infrastruktur dasar
  • Memonitor pengelolaan destinasi

2. Akademisi

  • Melakukan pelatihan dan pendampingan
  • Menghadirkan inovasi dan riset
  • Menyusun model pengelolaan berkelanjutan

3. Bisnis

  • Mendukung investasi pariwisata
  • Membuka peluang kemitraan usaha lokal
  • Menyelenggarakan program pemberdayaan

4. Komunitas dan Desa (Masyarakat)

  • Menjadi pelaku utama pengelola destinasi
  • Menghidupkan budaya, kuliner, dan kearifan lokal
  • Menjaga kelestarian lingkungan

5. Media

  • Menguatkan branding destinasi
  • Mempromosikan narasi positif
  • Menyebarkan informasi yang valid

Dengan dukungan pentahelix, UU Kepariwisataan yang baru dapat diimplementasikan secara efektif, menciptakan desa wisata yang maju secara ekonomi, kuat secara budaya, dan lestari secara lingkungan.

Ini Momentum Emas bagi Desa Wisata Indonesia

Perubahan UU Kepariwisataan 2025 membawa angin segar bagi pariwisata Indonesia, terutama bagi desa yang menjadi tulang punggung wisata berbasis budaya. Regulasi baru memberi kepastian hukum, arah pembangunan yang lebih jelas, serta perlindungan terhadap masyarakat sebagai pemilik budaya.

Kini saatnya desa wisata memperkuat kelembagaan, memperbaiki tata kelola, memanfaatkan teknologi, memperluas kolaborasi, serta menggali potensi budaya dan alam secara berkelanjutan.

Dengan dukungan seluruh unsur pentahelix, masa depan desa wisata Indonesia akan semakin cerah, inklusif, dan berdaya saing global. Ingin belajar desa wisata? Yuk ke Desa Wisata Tinalah, Pusat Sumber Belajar Desa Wisata Indonesia (PSBDWI). Info WA 085729546678